BAB
1
PENDAHULUAN
1.1 Deskripsi Jual Beli Salam
Jual Beli Salam atau disebut juga salaf
adalah jual beli barang yang ditunda yang disifati dan masih dalam tanggungan
dengan bayaran yang didahulukan. Para fuqaha' menamainya dengan nama bai'ul
mahaawij, karena hal tersebut merupakan jual beli barang yang gha'ib (belum
ada) yang perlu dilakukan oleh penjual dan pembeli, di mana pemilik uang butuh
membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh memiliki uang sebelum barang itu
ada padanya untuk dipakai buat dirinya dan untuk dibelanjakan buat tanamannya
misalnya agar buahnya dapat matang dengan baik, hal ini termasuk maslahat
haajiyah (kebutuhan).
Untuk
Selanjutnya pembeli disebut musallim atau rabbus salam, penjual
disebut musallam ilaih, barang yang dijual disebut musallam fiih,
sedangkan bayaran atau uangnya disebut ra'su maalis salam.
1.2 Signifikansi Jual Beli Salam
Jual Beli Salam sejalan
dengan syari'at, tidak ada yang menyalahi qiyas. Hal itu, karena sebagaimana
boleh ditunda pembayaran dalam jual beli, maka boleh juga ditunda barangnya
dalam salam tanpa ada perbedaan di antara keduanya. Perlu diketahui, bahwa syariat
salam ini tidaklah masuk ke dalam
larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu larangan seseorang menjual
barang yang tidak ada padanya sebagaimana dalam hadits Hakim bin Hizaam, "Janganlah
kamu menjual barang yang tidak ada padamu." (HR. Ahmad, para pemilik
kitab Sunan, dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Sebab menjual barang yang disifati dan ditanggung dengan adanya
kemungkinan kuat dapat dipenuhi pada waktu yang ditentukan, maka hal ini tidak
termasuk gharar atau taruhan.
Adapun hikmah disyariatkan
jual beli salam adalah untuk melapangkan dan memberi kemudahan kepada manusia.
Contohnya penanam pohon, ia tidak memiliki uang untuk biaya menggarap tanah dan
menanam pohon serta tidak ada orang yang mau meminjamkan, maka dibolehkan
baginya melakukan salam agar tidak hilang usaha mengolah tanahnya.
1.3 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami membahas hal – hal di bawah ini:
1.3.1 Definisi Jual Beli Salam
1.3.2 Dasar Hukum (Dalil) Jual Beli Salam
1.3.3 Syarat-syarat Jual Beli salam
1.3.4 Rukun jual beli salam
1.3.5 Hikmah jual beli salam
1.3.6 contoh kasus
1.3.7 catatan
BAB II
JUAL BELI SALAM
2.1 DEFINISI JUAL BELI SALAM
Menurut
Bahasa
Salam atau Salaf adalah MENDAHULUKAN.
Sedangkan
menurut Syara’ Jual beli Salam adalah Jual beli sesuatu yang dinyatakan
sifat-sifatnya saja dengan lafaz salam atau salaf.
Jual
Beli Salam adalah salah satu jenis kontrak jual
beli yang dibenarkan disebabkan
ia dikecualikan daripada kategori
menjual barangan yang tidak wujud.
Salam
atau disebut juga salaf adalah jual beli barang yang ditunda yang disifati dan
masih dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan. Para fuqaha' menamainya
dengan nama bai'ul mahaawij, karena hal tersebut merupakan jual beli barang
yang gha'ib (belum ada) yang perlu dilakukan oleh penjual dan pembeli, di mana
pemilik uang butuh membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh memiliki uang
sebelum barang itu ada padanya untuk dipakai buat dirinya dan untuk
dibelanjakan buat tanamannya misalnya agar buahnya dapat matang dengan baik,
hal ini termasuk maslahat haajiyah (kebutuhan).
Untuk
Selanjutnya pembeli disebut musallim atau rabbus salam, penjual
disebut musallam ilaih, barang yang dijual disebut musallam fiih,
sedangkan bayaran atau uangnya disebut ra'su maalis salam.
2.2 Dasar Hukum (Dalil)
Jual Beli Salam
Jual beli salam diperbolehkan
dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Alquran dan As-Sunnah serta ijma',
juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyas ash-shahih).
Pertama: Dalil
dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
“Wahai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah:282)
Sahabat yang mulia, Abdullah bin
Abbas radhiallahu 'anhuma, menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya
jual beli salam. Beliau berkata,
أَشْهَدُ أَنَّ
السَّلَفَ الْمَضْمُوْنَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِيْ
كِتَابِهِ وَأَذِنَ فِيْهِ ثُمَّ قَرَأَ << يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Saya bersaksi bahwa
jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah
dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), 'Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.'”
(Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil,
no. 340, dan beliau katakan, “Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi’i, no.
1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)
Kata “apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai” bersifat umum; meliputi tidak tunai dalam pembayaran dan tidak
tunai dalam pemberian barang dagangannya. Apabila tidak tunai dalam pemberian
barangnya maka dinamakan “salam”. (Lihat keterangan Syekh Ibnu Utsaimin tentang
hal ini di Syarhu Al-Mumti’, 9:49)
Kedua: Dalil
dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma
yang berbunyi,
قَدِمَ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ
وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ
مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
“Ketika Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa
memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau
bersabda, 'Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam
jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam
timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo
yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.'" (Muttafaqun
'alaih)
Ketiga: Ulama
Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual
beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dalam
kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudamah rahimahullah menyetujui
penukilan ijma’ ini, dengan menyatakan, “Semua ulama, yang kami hafal,
telah sepakat menyatakan bahwa as-salam itu boleh.” (Al-Mughni,
6:385)
Keempat: Kebolehan
akad jual beli salam ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan
manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah
Al-Fauzan hafizhahullah, dalam ungkapan beliau, “Analogi akal dan
hikmah menuntut bolehnya jual beli ini, karena kebutuhan dan kemaslahatan
manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan
uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran uang kontan, dan pembeli
mengambil keuntungan dengan mendapatkan barang lebih murah serta dengan nilai
harga di bawah (harga) pada umumnya. Kemaslahatan kembali kepada keduanya.” (Min
Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 150).
Oleh karena itu, Syekh Prof. Dr.
Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Kebolehan
muamalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat
Islam karena muamalah ini berisi hal-hal yang mempermudah orang dan mewujudkan
maslahat bagi mereka, di samping bebas dari riba dan terhindar dari seluruh
larangan Allah.” (Al-Mulakhash Al-Fiqh, 2:60).
2.3 Syarat – Syarat Jual Beli Salam
Salam
adalah salah satu bentuk jual beli. Oleh karena itu, untuk sahnya berlaku
syarat-syarat jual beli dan ditambah syarat yang akan dijelaskan berikut.
Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan ra'sul maal (pembayaran) dan ada yang
berkaitan dengan musallam fiih (barangnya).
Syarat
yang berkaitan pada ra'sul maal (bayaran)
1. Diketahui
jenis (bayaran)nya.
2. Diketahui
jumlahnya
3. Diserahkan
dalam majlis secara sempurna.
Syarat pada musallam fiih (barangnya)
1.
Masih dalam tanggungan
2.
Disifati dengan sifat yang menghasilkan
pengetahuan terhadap ukurannya dan
sifatnya yang membedakan dengan lainnya agar gharar itu hilang dan
hilang perselisihan.
3.
Waktunya diketahui sampai kapan.
Di
antara ulama ada yang mensyaratkan bahwa barangnya harus yang biasanya ada pada
saat tiba waktunya, jika biasanya tidak ada, seperti penyerahan kurma pada
musim dingin, maka tidak sah karena termasuk gharar.
Khilaf
tentang syarat harus adanya jangka waktu penyerahan
Jumhur
ulama berpendapat bahwa jangka waktunya harus diperhatikan dalam masalah salam,
mereka berkata, "Tidak boleh salam itu langsung pada saat itu."
Sedangkan ulama madzhab Syafi'i berpendapat bahwa boleh hukumnya dilakukan pada
saat itu (langsung), karena apabila ditunda saja boleh dengan adanya kemungkinan
gharar, maka bolehnya diberikan langsung, jelas lebih boleh. Dan penyebutan
batas waktu dalam hadits bukanlah karena sebagai syarat, bahkan maknanya jika
sampai batas waktu tertentu, maka harus jelas kapan waktunya.
Sedangkan
Imam Syaukaani berkata, "Yang benar adalah apa yang dipegang oleh ulama
madzhab Syafi'i yakni tidak harus diperhatikan jangka waktu karena tidak ada
dalil yang menunjukkan demikian, sehingga tidaklah diharuskan menentukan suatu
hukum tanpa dalil. Adapun jika dikatakan, "Bahwa jika tidak diberikan
tempo, maka sama seperti jual beli barang yang tidak ada, dan tidak diberikan
rukhshah dalam hal ini kecuali dalam salam, dan tidak ada perbedaan antara
salam dengan jual beli selain adanya batas waktu,” maka dijawab bahwa shighat
sudah menjadi pemisah (antara jual beli dengan salam) dan itu sudah
cukup."
Tidak
disyaratkan pada musallam fiih (barang yang disalamkan) harus ada pada musallam
ilaih (penjual)
Tidak
disyaratkan pada salam si penjual sudah memiliki barangnya, bahkan hendaknya si
penjual memperhatikan ada atau tidak ketika tempo sudah tiba. Ketika barang
tidak ada pada saat waktunya tiba, maka akad bisa batal, dan tidaklah mengapa
jika barang belum ada sebelum tiba waktunya.
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin Al Mujaalid ia berkata:
بَعَثَنِي
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ وَأَبُو بُرْدَةَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَا سَلْهُ
هَلْ كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِفُونَ فِي الْحِنْطَةِ
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الْحِنْطَةِ
وَالشَّعِيرِ وَالزَّيْتِ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ قُلْتُ
إِلَى مَنْ كَانَ أَصْلُهُ عِنْدَهُ قَالَ مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ
بَعَثَانِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ كَانَ
أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِفُونَ عَلَى عَهْدِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ نَسْأَلْهُمْ أَلَهُمْ
حَرْثٌ أَمْ لَا
'Abdullah
bin Syaddad dan Abu Burdah mengutusku untuk menemui 'Abdullah bin Abi Aufaa
radliallahu 'anhuma dan keduanya berkata, “Tanyakanlah kepadanya apakah para
sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di zaman Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mempraktekkan jual beli salaf pada biji gandum?" 'Abdullah
berkata, "Kami mempraktekkan salaf dengan orang-orang blasteran bangsa
Syam pada biji gandum, beras dan kismis dengan takaran yang pasti sampai waktu
yang pasti pula.” Aku bertanya, "Apakah kepada orang yang memiliki asalnya
(barangnya)?” Dia berkata, "Kami tidak pernah menanyakan hal ini kepada
mereka.” Kemudian keduanya mengutus aku untuk menemui 'Abdurrahman bin Abzaa
lalu aku bertanya kepadanya, maka dia berkata, "Para sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam mempraktekkan salaf di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan kami tidak pernah menanyakan kepada mereka apakah mereka memiliki pertanian
atau tidak?"
Akad
tidaklah batal karena mendiamkan tentang tempat penyerahannya
Jika
kedua pelaku akad diam terhadap penentuan tempat penyerahannya, maka salam
tetap sah meskipun belum ditentukan tempatnya, karena tidak diterangkan dalam
hadits. Kalau hal itu menjadi syarat, tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam akan menyebutkannya sebagaimana menyebutkan tentang takaran, timbangan
dan waktunya.
Bolehkah
mengambil barang selain musallam fiih (barang) sebagai gantinya?
Jumhur
fuqaha' berpendapat tidak boleh mengambil barang selain musallam fiih sebagai
gantinya jika masih tetap berlaku akad salam, karena hal itu sama saja menjual
hutang musallam fiih sebelum menerimanya, juga berdasarkan riwayat berikut:
مَنْ أَسْلَفَ
فِي شَئْ ٍفَلاَ يَصْرِفْهُ إِلَى غَيْرِهِ
"Barangsiapa
yang melakukan salaf pada sesuatu, maka ia tidak boleh berpindah kepada yang
lain." (HR. Daruquthni dari Ibnu Umar, di dalamnya terdapat 'Athiyyah bin
Sa'ad, dan haditsnya tidak bisa dipakai hujjah)
Namun
Imam Malik dan Ahmad membolehkannya, Ibnul Mundzir berkata: "Telah sah
dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: "Apabila kamu melakukan salaf pada
sesuatu sampai waktu tertentu, maka jika mengambil barang yang kamu salafkan
(maka ambillah). Jika tidak, maka ambillah sebagai gantinya yang kurang
daripadanya, dan janganlah kamu mengambil untung dua kali." (Diriwayatkan
oleh Syu'bah). Hal ini adalah perkataan sahabat, dan perkataan sahabat adalah
hujjah selama tidak menyelisihi. Inilah yang dikuatkan Ibnul Qayyim, ia berkata
setelah menguraikan masing-masing dalil kedua belah pihak, "Maka jelas,
bahwa tidak ada nas yang melarang, demikian juga tidak ada ijma' dan qiyas,
bahkan nas dan qias menghendaki untuk dihukumi boleh. Yang wajib ketika terjadi
perselisihan adalah mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu
'alaihi wa sallam. Adapun jika terjadi pembatalan akad salam karena iqalah dan
semisalnya, maka ada yang berpendapat "Tidak boleh mengambil ganti dari
barang yang tidak sejenis terhadap hutang salam." Namun ada yang
berpendapat, "Dibolehkan mengambil gantinya." Inilah pendapat Imam
Syafi'i dan pilihan Al Qaadhiy Abu Ya'la dan Ibnu Taimiyah."
Ibnul
Qayyim juga berkata, "Inilah yang benar, karena hal ini merupakan ganti
yang masih tetap dalam tanggungan, maka dibolehkan mengambil ganti sebagaimana
hutang yang lain seperti qardh dan lainnya."
2.4 Rukun Jual Beli Salam
Rukun
Jual Beli Salam Ada Empat (4) yaitu:
1.
Pihak Yang Mengikat Kontrak
- Waras; iaitu baligh, berakal dan boleh menguruskan harta dengan baik
- Bebas membuat pilihan ketika mengikat kontrak.
- Penjual dan pembeli adalah individu yang berlainan.
*Orang
buta boleh melakukan jual beli salam
kerana dalam jual beli salam barangan tersebut hanya dinyatakan sifat-sifatnya
saja dan ini boleh diketahui dengan cara mendengar.
*
Ketika menerima, orang buta boleh mewakilkannya kepada siapa saja bagi
memastikan sifat-sifat yang dinyatakan itu wujud.
2. Sighah Kontrak
- Tidak wujud tempo yang lama antara penawaran (ijab) dan persetujuan (qabul) yang boleh menggambarkan pada adatnya penerimaan tersebut tidak diterima.
- Perlu wujud persamaan antara persetujuan oleh pembeli dan penawaran oleh penjual dalam semua sudut.
- Kesahihan jual beli tersebut tidak boleh dikaitkan dengan sebarang syarat atau dihadkan untuk tempoh tertentu.
- Sighah tersebut mesti menyatakan lafaz salam atau salaf dan tidak sah jika ia menggunakan lafaz lain.
- Kontrak ini tidak mengandungi sebarang khiyar syarat.
3.Modal
Modal
ialah bayaran yang dibuat oleh pembeli sebagai mendahulukan bayaran
kepada penjual.
Syarat-syarat yang ditetapkan ialah:
- Jumlah dan bentuk pembayaran hendaklah dimaklumi oleh kedua belah pihak.
- Penyerahan modal oleh pembeli dan penerimaan modal oleh penjual perlu dalam masa kontrak iaitu sebelum mereka berpisah secara fizikal kerana penyerahan ini adalah objektif asal dalam jual beli salam.
* Penerimaan tersebut disyaratkan
mestilah penerimaan yang hakiki.
4.Barang
Yang Di Tempah
Barangan
yang ditempah ialah barangan yang dijual dalam kontrak dan penjual berjanji
menyerahkannya kepada pembeli sebagai timbal balik kepada modal yang dibayar sebagai
bayaran yang didahulukan.
Beberapa syarat yang ditetapkan
yaitu:
- Barang tersebut mestilah boleh dinyatakan sifat-sifat dan ciri-cirinya.
Hadis yang diriwayatkan daripada Abdullah bin Abu
Aufa’ r.a katanya: “Dahulu kami melaksanakan jual beli salam iaitu pada
zaman Rasulullah s.a.w, Abu Bakar dan Umar untuk mendapatkan gandum, barli,
kismis dan tamar” (Riwayat al-Bukhari no. 2128)
- Barangan tersebut mestilah dikenalpasti jenis, kualiti, jumlah dan sifat oleh kedua-dua pihak.
Sabda Rasulullah s.a.w “Barangsiapa yang berjual beli salaf (salam) hendaklah dia berjual
beli salaf dengan ukuran yang dimaklumi, timbangan yang dimaklumi dan sehingga
tempoh yang dimaklumi”
3. Barangan
tersebut tidak bercampur-aduk dengan pelbagai barangan yang berlainan
jenis.
- Barang tersebut mestilah diperhutangkan, iaitu barangan dalam tanggungan yang hanya dinyatakan sifat tanpa merujuk kepada barangan tertentu.
- Barangan tersebut mampu diserahkan.
- Tempo penyerahan perlu ditetapkan.
- Tempat penyerahan perlu ditetapkan.
2.5
Hikmah
Jual Beli Salam
Adapun hikmah disyariatkan jual beli salam adalah untuk
melapangkan dan memberi kemudahan kepada manusia. Contohnya penanam pohon, ia
tidak memiliki uang untuk biaya menggarap tanah dan menanam pohon serta tidak
ada orang yang mau meminjamkan, maka dibolehkan baginya melakukan salam agar
tidak hilang usaha mengolah tanahnya.Selain hikmah diatas,di bawah ini juga
termasuk dari hikmah jual beli salam:
Ø Mementingkan
keperluan manusia.
Ø Memberi
berbagai manfaat kepada manusia.
Ø Memudahkan
satu pihak memperolehi modal dan satu pihak lagi memperolehi barangan yang
dikehendaki.
Ø Membuka
jalan supaya dapat dimanfaatkan yang menjadi landasan kehidupan manusia.
2.6
Contoh Jual Beli Salam
2.6.1
Contoh: Seorang
penempah meminta pembuat kasut membuatkan sepasang atau beberapa pasang kasut untuknya. Manakala
kulit dan segala bahan yang diperlukan disediakan oleh pembuat, bukannya
penempah.
2.6.2
Contoh lain ialah
perkakas rumah seperti perabot dan sebagainya. Penempah bersetuju dengan
pembuat untuk membuat set bilik tidur atau kerusi. Segala bahan yang digunakan
untuk perabot tersebut akan disediakan oleh pembuat mengikut spesifikasi yang
dikehendaki oleh penempah.
2.7
Catatan:
1.
Pembeli tidak diperbolehkan menjual barang
yang disalamkan sampai ia menerimanya karena adanya larangan menjual barang
yang belum diterima.
2.
Tidak sah diberlakukan hiwalah (pemindahan
hutang) pada salam, karena hiwalah itu hanya berlaku pada hutang yang memang
sudah tetap, sedangkan salam masih bisa dibatalkan.
3.
Jika kesulitan membawakan barang pada saat
tiba waktunya, misalnya salam pada buah, ternyata pohonnya tidak berbuah tahun
ini, maka si pembeli bisa bersabar sampai ada buahnya atau dibatalkan dan
meminta uangnya yang dahulu. Karena akad apabila tidak jadi, maka harus
dikembalikan uangnya, jika uangnya telah habis, maka harus dicari gantinya.
BAB III
KESIMPULAN
·
Menurut Bahasa Salam atau Salaf adalah MENDAHULUKAN.Sedangkan
menurut Syara’ Jual beli Salam adalah
Jual beli sesuatu yang dinyatakan sifat-sifatnya saja dengan lafaz
salam atau salaf.
·
Jual
Beli Salam adalah jual beli barang yang ditunda yang disifati
dan masih dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan
·
Dasar Hukum (Dalil) Jual Beli Salam
Jual beli salam diperbolehkan
dalam syariat Islam, berdasarkan :
1.
Dalil dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala
2.
Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin
Abbas radhiallahu 'anhuma
3.
Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus)
tentang kebolehan sistem jual beli salam ini, seperti diungkapkan oleh
Imam Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93
4.
Kebolehan akad jual
beli salam ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia,
sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan
hafizhahullah,
·
Syarat – Syarat Jual Beli Salam
Syarat yang berkaitan pada ra'sul
maal (bayaran)
1.
Diketahui jenis (bayaran)nya.
2.
Diketahui jumlahnya
3.
Diserahkan dalam majlis secara sempurna.
Syarat pada musallam fiih (barangnya)
1. Masih
dalam tanggungan
2. Disifati
dengan sifat yang menghasilkan pengetahuan terhadap ukurannya dan sifatnya yang membedakan dengan lainnya agar
gharar itu hilang dan hilang perselisihan.
3. Waktunya
diketahui sampai kapan.
·
Rukun Jual Beli Salam
1.
Pihak Yang Mengikat Kontrak
2.
Sighah Kontrak
3.
Modal
4.
Barang Yang Di Tempah
·
Hikmah Jual Beli Salam
Adapun
hikmah disyariatkan jual beli salam adalah untuk melapangkan dan memberi
kemudahan kepada manusia,di samping itu di bawah ini adalah hikmah jual beli
salam:
Ø Mementingkan
keperluan manusia.
Ø Memberi
berbagai manfaat kepada manusia.
Ø Memudahkan
satu pihak memperolehi modal dan satu pihak lagi memperolehi barangan yang
dikehendaki.
Ø Membuka
jalan supaya dapat dimanfaatkan yang menjadi landasan kehidupan manusia.
· Contoh Jual Beli Salam
Contoh: Seorang
penempah meminta pembuat kasut membuatkan sepasang atau beberapa pasang kasut untuknya. Manakala
kulit dan segala bahan yang diperlukan disediakan oleh pembuat, bukannya
penempah.
Contoh lain ialah perkakas rumah seperti
perabot dan sebagainya. Penempah bersetuju dengan pembuat untuk membuat set
bilik tidur atau kerusi. Segala bahan yang digunakan untuk perabot tersebut
akan disediakan oleh pembuat mengikut spesifikasi yang dikehendaki oleh
penempah
“Wallahu
a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa
sallam.”
REFERENSI
o
Al-Albani.Kitab Irwa’Alghalil hal.340
o
Imam Ibnu Mundzir.Kitab Al-Ijma’ hal.93
o
http://www.muamalah_2/zahir.
o
Syekh Ibnu Utsmaini.Syarhu Al-mumti hal.49
o
Syekh Prof.Dr.Shalih bin Abdillah Al
Fauzan.Fiqh al-mu’amalat hal. 150
o
Syekh Prof.Dr.Shalih bin Abdillah Al
Fauzan.Al-mulakhas Al-fiqh hal. 60