STATUS ANAK DI LUAR NIKAH
A.
Pendahuluan
Keberadaan anak dalam
keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang
berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai
investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala
usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meninggkatkan peringkat hidup
sehingga dapat mengontrol status social orang tua.
Anak merupakan pemegang
keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan
sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah lambang penerus dan lambang
keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk
ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa
dan potongan daging orang tuanya.
Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan
manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan
perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang
baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari
penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah.Sebagaimana firman Allah
SWT.,dalam surat al-Rum ayat 21:
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendri supaya kamu cendrung dan merasa tentram
kepdanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikin itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Oleh karena itu agama
Islam melarang perzinaan. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan
zina. Karena zina dapat mengakibatkan ketidakjelasan keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai
akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya.
Dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami, mutlak
menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuannya darinya.
Hal ini diungkapkan
dalam al-Qur’an surat al-Isra’ : 32:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
Hadist Nabi, dari Abu Hurairah r.a. berkata :
Rasulullah SAW bersabda :
“Anak
itu adalah untuk pemilik tilam dan bagi
pezina adalah hukuman rajam” 4
Pergaulan bebas antara
muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal
yang negatif yang tidak dikehendaki, seperti hubungan sex luar nikah dan hamil
luar nikah. Hal ini disebabkan oleh
adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala dimasyarakat adanya
hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan.
Anak yang lahir di luar
nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal ini
menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak tersebut
tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak
persoalan yang muncul akibat hamil luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab
antara anak dengan bapak biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai
perspektif hukum.
B. Pembahasan
Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum
Islam
Mengenai status anak luar nihah, para ulama
sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materil maupun spiritual
adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.
Dalam hal anak diluar nikah ini,
dibagi ke dalam dua kategori :
a.
Anak yang dibuahi tidak dalam
pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’I, dan didukung
oleh jumhur ulama anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan
ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan
sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya.Mereka berpedoman
pada pendapat Ali bin Abi Thalib
ketika menghentikan rencana khalifah
Usman bin Affan menghukum rajam terhadap seorang perempuan atas tuduhan
zina yang diadukan suaminya karena sang isteri melahirkan bayi pada 6 bulan
(kurang 9 bulan) dari waktu akad nikah. Maka Ali menjelaskan kepada Usman bahwa
al-Qur`an menyebutkan masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti
yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf
ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa
menyusui adalah 2 tahun, ini artinya
masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun.
( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)
Tegasnya, meskipun si ibu
melangsungkan akad nikah, bila kurang
dari 6 bulan sejak pernikahannya itu lalu ia melahirkan anak, maka sang anak
tersebut tidak boleh dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya.
Berbeda dengan pendapat itu,
Menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap
dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang
tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka
menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan
ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya
sama dengan mahram melalui pernikahan. ( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz
2 hal. 34).
Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya perbedaan
ulama dalam mengartikan lafaz firasy, dalam
hadist nabi Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah Rasulullah
saw bersabda:
“ Al-waladu
li al-firaasyi, walil`aahiri alhajaru”
Artinya: “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam”.
Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan,
yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga
ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).
b.
Anak yang dibuahi dan dilahirkan
diluar pernikahan yang sah
Status anak diluar nikah dalam
kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an, oleh karena itu maka mempunyai
akibat hukum sebagai berikut:
(a). tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya.
Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib
memeberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya.
Jadi hubungan yang timbul hanyalah
secara manusiawi, bukan secara hukum.
(b). tidak ada saling mewaris dengan
bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
(c).
bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak
diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan
menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.
Status Anak di Luar
Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional.
Menurut hukum Perkawinan
Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua,
anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal
42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah.(b).
Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut.
Bila dicermati secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang
anak sah ini memimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat
perkwinan yang sah” tidak ada masalah, namun “ anak yang lahir dalam masa
perkawinan yang sah”ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini
dihubungkan dengan pasal yang membolehkan wanita hamil karenan zina, menikah
dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan perempuan hamil karena zina dengan
laki laki yang menghamilinya adalah perkawinan yang sah. Seandainya beberapa bulan sesudah
perkawinan yang sah itu berlansung, lahir anak yang dikandungnya, tentu akan
berarti anak yang lahir anak sah dari suami yang mengawininya bila masa
kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan(? ).
Yang dimaksud dengan
anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang
sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundangundangan Nasional
antara lain:
1.
UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
2.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya
Pada akhirnya bila
dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa
status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada
ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang
tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak.
Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang
menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan kelaurga ibunya. Agaknya
dapat dinyatakan mafhum mukhalafah (makna yang tersirat bertentangan dengan makna daripada lafaz
yang tersurat)dari
pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan
bapak biologisnya dalam bentuk; nasab; hak dan kewajiban secara timbal
balik
Secara implisit dapat
ditegaskan bahwa hampir tidak ada perbedaan antara hukukm Islam dengan hukum
perkawinan Nasional dalam menetapkan
nasab anak di luar nikah, walaupun tidak dinyatakan secara tegas hubungannnya
dengan bapak biologis, dalam pasal tertentu.
C. Kesimpulan
Status anak di luar
nikah yakni anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah,
menurut Hukum Islam disamakan dengan anak zina dan anak li’an. Konsekwensinya
adalah tidak ada hubungan nasab anak dengan bapak biologisnya; tidak ada hak
dan kewajiban antara anak dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah,
waris dan lain sebagainya; bila kebetulan anak itu adalah perempuan, maka bapak
biologisnya tidak dapat untuk menjadi wali, sehingga yang dapat menjadi wali
anak luar nikah hanya khadi / wali hakim.
Dalam hukum perkawinan
di Indonesia pengaturan tentang nasab anak di luar nikah, hanya secara implisit
di pahami bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibunya, ini berarti anak tersebut tidak mendapatkan hak dan
kewajiban dari bapak biologisnya.
Kesimpulan tambahan yang bisa dipetik
adalah:
1.
Bahwa
pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina wajib dicegah karena menimbulkan banyak
kesulitan bagi anak sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan nasab.
2.
Anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan
setelah akad nikah ibunya, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada
ayah biologisnya.
3.
Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan menurut Abu hanifah haram dinikahkan ayah
biologisnya,
4.
Bila
negara menetapkan UU yang mengatur status anak yang dilahirkan di luar
perkawinan memiliki hubungan perdata dengan orang tua biologisnya maka
pengertian “ perdata “ tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
dengan mempertimbangkan hal-hal berikut
:
a.
Untuk
kepentingan kemanusiaan, seperti tanggung jawab nafkah untuk anak, biaya
kesehatan dan pendidikannya.
b.
Dalam
hal menghormati nilai kemanusiaan sang anak, meskipun ia dilahirkan di luar
perkawinan, maka status anak tersebut bukan “anak haram” atau “ anak zina” karena “haram” tidak berhubungan dengan
benda, tetapi hanya berhubungan dengan perbuatan (zina yang dilakukan orang tua
biologisnya). Demikian pula Allah tidak
akan menghukum seseorang karena dosa yang dibuat orang lain.
c.
Untuk
kepentingan administrasi negara dengan tetap menjaga agar tidak terjadi
benturan dengan hukum agama. Dalam hal ini bila negara berkepentingan
untuk mengadministrasi identitas anak
yang harus dituangkan dalam akta
kelahiran, tidak boleh mencantumkan nama
anak laki-laki diberi “bin” atau nama anak perempuan dengan “
binti” yang dihubungkan kepada ayah biologisnya.
D.
Saran
v Semoga dengan UU baru ini masyarakat
dapat mengendalikan terjadinya pelanggaran susila, pelanggaran agama dan
pelanggaran kemanusiaan di negara tercinta, Indonesia.
v Semoga orang yang keliru menyadari
kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya
Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya.
E. Referensi
- Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34,
- Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1976), h. 256-158
- Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . h. 114
- Yusuf al-Qardhawi, op.cit., h. 304-306
- Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, juz XII, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 127
- KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, tt), h. 385
- Imam Muslim,Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tt),h. 52
- Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t), juz.II, h.12-23
- Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973), h. 449