Senin, 13 Mei 2013

STATUS ANAK DI LUAR NIKAH by KHOIRUMANSYAH BATUBARA FT-UISU



STATUS ANAK DI LUAR NIKAH

A.  Pendahuluan

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meninggkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua.
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.
Begitu  pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari  penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah.Sebagaimana firman Allah SWT.,dalam surat al-Rum ayat 21:
 
Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepdanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikin itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat mengakibatkan ketidakjelasan  keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya. Dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuannya darinya. 

Hal ini diungkapkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ : 32: 
 
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk”.
 Hadist Nabi, dari Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda :
 “Anak itu adalah untuk pemilik  tilam dan bagi pezina adalah hukuman rajam” 4
Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak dikehendaki, seperti hubungan sex luar nikah dan hamil luar nikah.  Hal ini disebabkan oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala dimasyarakat adanya hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan. 
Anak yang lahir di luar nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal ini menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul akibat hamil luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai perspektif hukum.


B.   Pembahasan
Status Anak di Luar Nikah Menurut  Hukum Islam
 Mengenai status anak luar nihah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris.
Dalam hal anak diluar nikah ini, dibagi ke dalam dua kategori :
a.         Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.
Menurut Imam Malik dan imam Syafi’I, dan didukung oleh jumhur ulama anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya.Mereka berpedoman pada pendapat Ali bin Abi Thalib ketika menghentikan rencana khalifah Usman bin Affan menghukum rajam terhadap seorang perempuan atas tuduhan zina yang diadukan suaminya karena sang isteri melahirkan bayi pada 6 bulan (kurang 9 bulan) dari waktu akad nikah. Maka Ali menjelaskan kepada Usman bahwa al-Qur`an menyebutkan masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah 2 tahun,  ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun. ( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)
Tegasnya, meskipun si ibu melangsungkan akad  nikah, bila kurang dari 6 bulan sejak pernikahannya itu lalu ia melahirkan anak, maka sang anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya.
 Berbeda dengan pendapat itu,
Menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui pernikahan. ( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34).
 Perbedaan pendapat  ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz firasy, dalam hadist nabi Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah Rasulullah saw bersabda:
 Al-waladu li al-firaasyi, walil`aahiri alhajaru
Artinya: “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam”.
Mayoritas ulama mengartikan lafadz firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak).
b.         Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah
Status anak diluar nikah dalam kategiri yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut:
 (a). tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memeberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul  hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.
(b). tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan.
(c).  bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.

Status Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Perkawinan Nasional. 
Menurut hukum Perkawinan Nasional Indonesia, status anak dibedakan menjadi dua: pertama, anak sah. kedua, anak luar nikah. Anak sah sebagaimana yang dinyatakan UU No. Tahun 1974 pasal 42: adalah dalam anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dan  Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 99 yang menyatakan : “ anak sah adalah : (a) anak yang lahir dalam atau sebagai akibat  perkawinan yang sah.(b). Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Bila dicermati secara analisis, sepertinya bunyi pasal tentang anak sah ini memimbulkan kerancuan, anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Bila dinyatakan “anak yang lahir akibat perkwinan yang sah” tidak ada masalah, namun “ anak yang lahir dalam masa perkawinan yang sah”ini akan memimbulkan suatu kecurigaan bila pasal ini dihubungkan dengan pasal yang membolehkan wanita hamil karenan zina, menikah dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan perempuan hamil karena zina dengan laki laki yang menghamilinya adalah perkawinan yang  sah. Seandainya beberapa bulan sesudah perkawinan yang sah itu berlansung, lahir anak yang dikandungnya, tentu akan berarti anak yang lahir anak sah dari suami yang mengawininya bila masa kelahiran telah enam bulan dari waktu pernikahan(? ).
Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah, sebagaimana yang dsebutkan dalam peraturan perundangundangan Nasional antara lain: 
1.      UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1, menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
2.      Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya
Pada akhirnya bila dicermati dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia  tentang Hukum Perkawinan, menyatakan bahwa status nasab anak di luar nikah mempunyai hubungan keperdataan hanya kepada ibunya dan keluarga ibunya. Hubungan ini biasa disebut dengan kekuasaan orang tua, yakni timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Implementasinya adalah bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban dengan ibu dan kelaurga ibunya. Agaknya dapat dinyatakan mafhum mukhalafah (makna yang tersirat bertentangan dengan makna daripada lafaz yang tersurat)dari pernyataan tersebut bahwa anak itu tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan bapak biologisnya dalam bentuk; nasab; hak dan kewajiban secara timbal balik 
Secara implisit dapat ditegaskan bahwa hampir tidak ada perbedaan antara hukukm Islam dengan hukum perkawinan Nasional  dalam menetapkan nasab anak di luar nikah, walaupun tidak dinyatakan secara tegas hubungannnya dengan bapak biologis, dalam pasal tertentu.












C.   Kesimpulan
Status anak di luar nikah yakni anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut Hukum Islam disamakan dengan anak zina dan anak li’an. Konsekwensinya adalah tidak ada hubungan nasab anak dengan bapak biologisnya; tidak ada hak dan kewajiban antara anak dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya; bila kebetulan anak itu adalah perempuan, maka bapak biologisnya tidak dapat untuk menjadi wali, sehingga yang dapat menjadi wali anak luar nikah  hanya  khadi / wali hakim.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia pengaturan tentang nasab anak di luar nikah, hanya secara implisit di pahami bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, ini berarti anak tersebut tidak mendapatkan hak dan kewajiban dari bapak biologisnya.
Kesimpulan tambahan yang bisa dipetik adalah:
1.     Bahwa pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina   wajib dicegah karena menimbulkan banyak kesulitan bagi anak  sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan nasab.
2.      Anak yang dilahirkan kurang dari 6 bulan setelah akad nikah ibunya, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya.
3.     Anak yang dilahirkan di luar perkawinan menurut Abu hanifah haram dinikahkan ayah biologisnya,
4.     Bila negara menetapkan UU yang mengatur status anak yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki hubungan perdata dengan orang tua biologisnya maka pengertian “ perdata “ tersebut harus dituangkan dalam Peraturan Pemerintah dengan mempertimbangkan  hal-hal berikut :
a.     Untuk kepentingan kemanusiaan, seperti tanggung jawab nafkah untuk anak, biaya kesehatan dan pendidikannya.

b.     Dalam hal menghormati nilai kemanusiaan sang anak, meskipun ia dilahirkan di luar perkawinan, maka status anak tersebut bukan “anak haram” atau “ anak zina”  karena “haram” tidak berhubungan dengan benda, tetapi hanya berhubungan dengan perbuatan (zina yang dilakukan orang tua biologisnya).  Demikian pula Allah tidak akan menghukum seseorang karena dosa yang dibuat orang lain.
c.      Untuk kepentingan administrasi negara dengan tetap menjaga agar tidak terjadi benturan dengan hukum agama. Dalam hal ini bila negara berkepentingan untuk  mengadministrasi identitas anak yang  harus dituangkan dalam akta kelahiran, tidak boleh  mencantumkan nama anak  laki-laki diberi  “bin” atau nama anak perempuan dengan “ binti” yang dihubungkan kepada ayah biologisnya.















D.        Saran
v Semoga dengan UU baru ini masyarakat dapat mengendalikan terjadinya pelanggaran susila, pelanggaran agama dan pelanggaran kemanusiaan di negara tercinta, Indonesia.
v Semoga orang yang keliru menyadari kekeliruannya dan kembali taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya Dia Maha luas ampunannya dan Maha berat siksanya.

















E.  Referensi
  1. Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34,
  2. Yusuf al-Qadhawi, Halal  dan Haram dalam Islam, (Surabaya: Pt Bina Ilmu, 1976), h.  256-158
  3. Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . h. 114
  4. Yusuf al-Qardhawi, op.cit., h. 304-306
  5. Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, juz XII, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 127
  6. KHO Sholeh, HAA. Dahlan, MD. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro, tt), h.  385
  7. Imam Muslim,Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, tt),h. 52
  8. Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‟ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t), juz.II, h.12-23
  9. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara, 1973), h. 449

Tidak ada komentar:

Posting Komentar