Kamis, 07 November 2013

JUAL BELI SALAM ( MUAMALAH ) BY KHOIRUMANSYAH BATUBARA F.T. UISU MEDAN



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Deskripsi Jual Beli Salam
Jual Beli Salam atau disebut juga salaf adalah jual beli barang yang ditunda yang disifati dan masih dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan. Para fuqaha' menamainya dengan nama bai'ul mahaawij, karena hal tersebut merupakan jual beli barang yang gha'ib (belum ada) yang perlu dilakukan oleh penjual dan pembeli, di mana pemilik uang butuh membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh memiliki uang sebelum barang itu ada padanya untuk dipakai buat dirinya dan untuk dibelanjakan buat tanamannya misalnya agar buahnya dapat matang dengan baik, hal ini termasuk maslahat haajiyah (kebutuhan).
Untuk Selanjutnya pembeli disebut musallim atau rabbus salam, penjual disebut musallam ilaih, barang yang dijual disebut musallam fiih, sedangkan bayaran atau uangnya disebut ra'su maalis salam.

       1.2 Signifikansi Jual Beli Salam
Jual Beli Salam sejalan dengan syari'at, tidak ada yang menyalahi qiyas. Hal itu, karena sebagaimana boleh ditunda pembayaran dalam jual beli, maka boleh juga ditunda barangnya dalam salam tanpa ada perbedaan di antara keduanya. Perlu diketahui, bahwa syariat salam ini tidaklah masuk ke dalam larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu larangan seseorang menjual barang yang tidak ada padanya sebagaimana dalam hadits Hakim bin Hizaam, "Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu." (HR. Ahmad, para pemilik kitab Sunan, dishahihkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Sebab menjual barang yang disifati dan ditanggung dengan adanya kemungkinan kuat dapat dipenuhi pada waktu yang ditentukan, maka hal ini tidak termasuk gharar atau taruhan.
Adapun hikmah disyariatkan jual beli salam adalah untuk melapangkan dan memberi kemudahan kepada manusia. Contohnya penanam pohon, ia tidak memiliki uang untuk biaya menggarap tanah dan menanam pohon serta tidak ada orang yang mau meminjamkan, maka dibolehkan baginya melakukan salam agar tidak hilang usaha mengolah tanahnya.
                                                                                                                                                                    
1.3 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami membahas hal – hal di bawah ini:
1.3.1 Definisi Jual Beli Salam
1.3.2 Dasar Hukum (Dalil) Jual Beli Salam
1.3.3 Syarat-syarat Jual Beli salam
1.3.4 Rukun jual beli salam
1.3.5 Hikmah jual beli salam
1.3.6 contoh kasus
1.3.7 catatan















                                                                                                                                                                                                



BAB II
JUAL BELI SALAM

2.1 DEFINISI JUAL BELI SALAM
            Menurut Bahasa Salam atau Salaf adalah MENDAHULUKAN.
Sedangkan menurut Syara’ Jual beli Salam adalah Jual beli sesuatu yang dinyatakan sifat-sifatnya saja dengan lafaz salam atau salaf.
Jual Beli Salam adalah salah satu jenis kontrak jual beli yang dibenarkan disebabkan ia dikecualikan daripada kategori menjual barangan yang tidak wujud.
Salam atau disebut juga salaf adalah jual beli barang yang ditunda yang disifati dan masih dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan. Para fuqaha' menamainya dengan nama bai'ul mahaawij, karena hal tersebut merupakan jual beli barang yang gha'ib (belum ada) yang perlu dilakukan oleh penjual dan pembeli, di mana pemilik uang butuh membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh memiliki uang sebelum barang itu ada padanya untuk dipakai buat dirinya dan untuk dibelanjakan buat tanamannya misalnya agar buahnya dapat matang dengan baik, hal ini termasuk maslahat haajiyah (kebutuhan).
Untuk Selanjutnya pembeli disebut musallim atau rabbus salam, penjual disebut musallam ilaih, barang yang dijual disebut musallam fiih, sedangkan bayaran atau uangnya disebut ra'su maalis salam.

2.2 Dasar Hukum (Dalil) Jual Beli Salam
            Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan dalil-dalil Alquran dan As-Sunnah serta ijma', juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-qiyas ash-shahih).
Pertama: Dalil dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah:282)
Sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma, menjadikan ayat ini sebagai dasar bolehnya jual beli salam. Beliau berkata,
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُوْنَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قَدْ أَحَلَّهُ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ وَأَذِنَ فِيْهِ ثُمَّ قَرَأَ << يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf, yang terjamin hingga tempo yang ditentukan, telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allah dalam Alquran. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), 'Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan cara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.'” (Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam kitab Irwa’ Al-Ghalil, no. 340, dan beliau katakan, “Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Asy-Syafi’i, no. 1314; Al-Hakim, 2:286; Al-Baihaqi, 6:18)
Kata “apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai” bersifat umum; meliputi tidak tunai dalam pembayaran dan tidak tunai dalam pemberian barang dagangannya. Apabila tidak tunai dalam pemberian barangnya maka dinamakan “salam”. (Lihat keterangan Syekh Ibnu Utsaimin tentang hal ini di Syarhu Al-Mumti’, 9:49)
Kedua: Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma yang berbunyi,
قَدِمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِى الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, sedangkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua tahun dan tiga tahun, maka beliau bersabda, 'Barang siapa yang memesan sesuatu maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), serta hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.'" (Muttafaqun 'alaih)
Ketiga: Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudamah rahimahullah menyetujui penukilan ijma’ ini, dengan menyatakan, “Semua ulama, yang kami hafal, telah sepakat menyatakan bahwa as-salam itu boleh.” (Al-Mughni, 6:385)
Keempat: Kebolehan akad jual beli salam ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, dalam ungkapan beliau, “Analogi akal dan hikmah menuntut bolehnya jual beli ini, karena kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran uang kontan, dan pembeli mengambil keuntungan dengan mendapatkan barang lebih murah serta dengan nilai harga di bawah (harga) pada umumnya. Kemaslahatan kembali kepada keduanya.” (Min Fiqhi Al-Mu’amalat, hlm. 150).
Oleh karena itu, Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Kebolehan muamalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan kemurahan syariat Islam karena muamalah ini berisi hal-hal yang mempermudah orang dan mewujudkan maslahat bagi mereka, di samping bebas dari riba dan terhindar dari seluruh larangan Allah.” (Al-Mulakhash Al-Fiqh, 2:60).
2.3 Syarat – Syarat Jual Beli Salam
            Salam adalah salah satu bentuk jual beli. Oleh karena itu, untuk sahnya berlaku syarat-syarat jual beli dan ditambah syarat yang akan dijelaskan berikut. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan ra'sul maal (pembayaran) dan ada yang berkaitan dengan musallam fiih (barangnya).
Syarat yang berkaitan pada ra'sul maal (bayaran)
1.      Diketahui jenis (bayaran)nya.
2.      Diketahui jumlahnya
3.      Diserahkan dalam majlis secara sempurna.

Syarat pada musallam fiih (barangnya)
1.                 Masih dalam tanggungan
2.                 Disifati dengan sifat yang menghasilkan pengetahuan terhadap ukurannya dan  sifatnya yang membedakan dengan lainnya agar gharar itu hilang dan hilang perselisihan.
3.                 Waktunya diketahui sampai kapan.

Di antara ulama ada yang mensyaratkan bahwa barangnya harus yang biasanya ada pada saat tiba waktunya, jika biasanya tidak ada, seperti penyerahan kurma pada musim dingin, maka tidak sah karena termasuk gharar.

Khilaf tentang syarat harus adanya jangka waktu penyerahan
Jumhur ulama berpendapat bahwa jangka waktunya harus diperhatikan dalam masalah salam, mereka berkata, "Tidak boleh salam itu langsung pada saat itu." Sedangkan ulama madzhab Syafi'i berpendapat bahwa boleh hukumnya dilakukan pada saat itu (langsung), karena apabila ditunda saja boleh dengan adanya kemungkinan gharar, maka bolehnya diberikan langsung, jelas lebih boleh. Dan penyebutan batas waktu dalam hadits bukanlah karena sebagai syarat, bahkan maknanya jika sampai batas waktu tertentu, maka harus jelas kapan waktunya.
Sedangkan Imam Syaukaani berkata, "Yang benar adalah apa yang dipegang oleh ulama madzhab Syafi'i yakni tidak harus diperhatikan jangka waktu karena tidak ada dalil yang menunjukkan demikian, sehingga tidaklah diharuskan menentukan suatu hukum tanpa dalil. Adapun jika dikatakan, "Bahwa jika tidak diberikan tempo, maka sama seperti jual beli barang yang tidak ada, dan tidak diberikan rukhshah dalam hal ini kecuali dalam salam, dan tidak ada perbedaan antara salam dengan jual beli selain adanya batas waktu,” maka dijawab bahwa shighat sudah menjadi pemisah (antara jual beli dengan salam) dan itu sudah cukup."

Tidak disyaratkan pada musallam fiih (barang yang disalamkan) harus ada pada musallam ilaih (penjual)
Tidak disyaratkan pada salam si penjual sudah memiliki barangnya, bahkan hendaknya si penjual memperhatikan ada atau tidak ketika tempo sudah tiba. Ketika barang tidak ada pada saat waktunya tiba, maka akad bisa batal, dan tidaklah mengapa jika barang belum ada sebelum tiba waktunya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Muhammad bin Al Mujaalid ia berkata:
بَعَثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ شَدَّادٍ وَأَبُو بُرْدَةَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَقَالَا سَلْهُ هَلْ كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِفُونَ فِي الْحِنْطَةِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّيْتِ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ قُلْتُ إِلَى مَنْ كَانَ أَصْلُهُ عِنْدَهُ قَالَ مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ ثُمَّ بَعَثَانِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى فَسَأَلْتُهُ فَقَالَ كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْلِفُونَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ نَسْأَلْهُمْ أَلَهُمْ حَرْثٌ أَمْ لَا
'Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah mengutusku untuk menemui 'Abdullah bin Abi Aufaa radliallahu 'anhuma dan keduanya berkata, “Tanyakanlah kepadanya apakah para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mempraktekkan jual beli salaf pada biji gandum?" 'Abdullah berkata, "Kami mempraktekkan salaf dengan orang-orang blasteran bangsa Syam pada biji gandum, beras dan kismis dengan takaran yang pasti sampai waktu yang pasti pula.” Aku bertanya, "Apakah kepada orang yang memiliki asalnya (barangnya)?” Dia berkata, "Kami tidak pernah menanyakan hal ini kepada mereka.” Kemudian keduanya mengutus aku untuk menemui 'Abdurrahman bin Abzaa lalu aku bertanya kepadanya, maka dia berkata, "Para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mempraktekkan salaf di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan kami tidak pernah menanyakan kepada mereka apakah mereka memiliki pertanian atau tidak?"
Akad tidaklah batal karena mendiamkan tentang tempat penyerahannya
Jika kedua pelaku akad diam terhadap penentuan tempat penyerahannya, maka salam tetap sah meskipun belum ditentukan tempatnya, karena tidak diterangkan dalam hadits. Kalau hal itu menjadi syarat, tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan menyebutkannya sebagaimana menyebutkan tentang takaran, timbangan dan waktunya.

Bolehkah mengambil barang selain musallam fiih (barang) sebagai gantinya?
Jumhur fuqaha' berpendapat tidak boleh mengambil barang selain musallam fiih sebagai gantinya jika masih tetap berlaku akad salam, karena hal itu sama saja menjual hutang musallam fiih sebelum menerimanya, juga berdasarkan riwayat berikut:
مَنْ أَسْلَفَ فِي شَئْ ٍفَلاَ يَصْرِفْهُ إِلَى غَيْرِهِ
"Barangsiapa yang melakukan salaf pada sesuatu, maka ia tidak boleh berpindah kepada yang lain." (HR. Daruquthni dari Ibnu Umar, di dalamnya terdapat 'Athiyyah bin Sa'ad, dan haditsnya tidak bisa dipakai hujjah)
Namun Imam Malik dan Ahmad membolehkannya, Ibnul Mundzir berkata: "Telah sah dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: "Apabila kamu melakukan salaf pada sesuatu sampai waktu tertentu, maka jika mengambil barang yang kamu salafkan (maka ambillah). Jika tidak, maka ambillah sebagai gantinya yang kurang daripadanya, dan janganlah kamu mengambil untung dua kali." (Diriwayatkan oleh Syu'bah). Hal ini adalah perkataan sahabat, dan perkataan sahabat adalah hujjah selama tidak menyelisihi. Inilah yang dikuatkan Ibnul Qayyim, ia berkata setelah menguraikan masing-masing dalil kedua belah pihak, "Maka jelas, bahwa tidak ada nas yang melarang, demikian juga tidak ada ijma' dan qiyas, bahkan nas dan qias menghendaki untuk dihukumi boleh. Yang wajib ketika terjadi perselisihan adalah mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun jika terjadi pembatalan akad salam karena iqalah dan semisalnya, maka ada yang berpendapat "Tidak boleh mengambil ganti dari barang yang tidak sejenis terhadap hutang salam." Namun ada yang berpendapat, "Dibolehkan mengambil gantinya." Inilah pendapat Imam Syafi'i dan pilihan Al Qaadhiy Abu Ya'la dan Ibnu Taimiyah."
Ibnul Qayyim juga berkata, "Inilah yang benar, karena hal ini merupakan ganti yang masih tetap dalam tanggungan, maka dibolehkan mengambil ganti sebagaimana hutang yang lain seperti qardh dan lainnya."

2.4 Rukun Jual Beli Salam
Rukun Jual Beli Salam Ada Empat (4) yaitu:
1. Pihak Yang Mengikat Kontrak
  1. Waras; iaitu baligh, berakal dan boleh menguruskan harta dengan baik
  2. Bebas membuat pilihan ketika mengikat kontrak.
  3. Penjual dan pembeli adalah individu yang berlainan.
*Orang buta boleh melakukan jual beli salam kerana dalam jual beli salam barangan tersebut hanya dinyatakan sifat-sifatnya saja dan ini boleh diketahui dengan cara mendengar.
* Ketika menerima, orang buta boleh mewakilkannya kepada siapa saja bagi memastikan sifat-sifat yang dinyatakan itu wujud.
2.  Sighah Kontrak
  1. Tidak wujud tempo yang lama antara penawaran (ijab) dan persetujuan (qabul) yang  boleh menggambarkan pada adatnya penerimaan tersebut tidak diterima.
  2. Perlu wujud persamaan antara persetujuan oleh pembeli dan penawaran oleh penjual dalam semua sudut.
  3. Kesahihan jual beli tersebut tidak boleh dikaitkan dengan sebarang syarat atau dihadkan untuk tempoh tertentu.
  4. Sighah tersebut mesti menyatakan lafaz salam atau salaf dan tidak sah jika ia menggunakan lafaz lain.
  5. Kontrak ini tidak mengandungi sebarang khiyar syarat.
3.Modal
Modal ialah bayaran yang dibuat oleh pembeli sebagai mendahulukan bayaran kepada penjual.
     Syarat-syarat yang ditetapkan ialah:
  1. Jumlah dan bentuk pembayaran hendaklah dimaklumi oleh kedua belah  pihak.
  2. Penyerahan modal oleh pembeli dan penerimaan modal oleh penjual perlu dalam masa kontrak iaitu sebelum mereka berpisah secara fizikal kerana penyerahan ini adalah objektif asal dalam jual beli salam.
*          Penerimaan tersebut disyaratkan mestilah penerimaan yang hakiki.
4.Barang Yang Di Tempah
Barangan yang ditempah ialah barangan yang dijual dalam kontrak dan penjual berjanji menyerahkannya kepada pembeli sebagai timbal balik kepada modal yang dibayar sebagai bayaran yang didahulukan.
Beberapa syarat yang ditetapkan yaitu:
  1. Barang tersebut mestilah boleh dinyatakan sifat-sifat dan ciri-cirinya.
Hadis yang diriwayatkan daripada Abdullah bin Abu Aufa’ r.a katanya: “Dahulu kami melaksanakan jual beli salam iaitu pada zaman Rasulullah s.a.w, Abu Bakar dan Umar untuk mendapatkan gandum, barli, kismis dan tamar” (Riwayat al-Bukhari no. 2128)
  1. Barangan tersebut mestilah dikenalpasti jenis, kualiti, jumlah dan sifat oleh kedua-dua pihak.
Sabda Rasulullah s.a.w “Barangsiapa yang berjual beli salaf (salam) hendaklah dia berjual beli salaf dengan ukuran yang dimaklumi, timbangan yang dimaklumi dan sehingga tempoh yang dimaklumi”
3.      Barangan tersebut tidak bercampur-aduk dengan pelbagai barangan yang berlainan jenis.
  1. Barang tersebut mestilah diperhutangkan, iaitu barangan dalam tanggungan yang hanya dinyatakan sifat tanpa merujuk kepada barangan tertentu.
  1. Barangan tersebut mampu diserahkan.
  1. Tempo penyerahan perlu ditetapkan.
  2. Tempat penyerahan perlu ditetapkan.

2.5    Hikmah Jual Beli Salam

Adapun hikmah disyariatkan jual beli salam adalah untuk melapangkan dan memberi kemudahan kepada manusia. Contohnya penanam pohon, ia tidak memiliki uang untuk biaya menggarap tanah dan menanam pohon serta tidak ada orang yang mau meminjamkan, maka dibolehkan baginya melakukan salam agar tidak hilang usaha mengolah tanahnya.Selain hikmah diatas,di bawah ini juga termasuk dari hikmah jual beli salam:
Ø  Mementingkan keperluan manusia.
Ø  Memberi berbagai manfaat kepada manusia.
Ø  Memudahkan satu pihak memperolehi modal dan satu pihak lagi memperolehi barangan yang dikehendaki.
Ø  Membuka jalan supaya dapat dimanfaatkan yang menjadi landasan kehidupan manusia.




2.6    Contoh Jual Beli Salam
2.6.1        Contoh: Seorang penempah meminta pembuat kasut membuatkan sepasang atau   beberapa pasang kasut untuknya. Manakala kulit dan segala bahan yang diperlukan disediakan oleh pembuat, bukannya penempah.
2.6.2        Contoh lain ialah perkakas rumah seperti perabot dan sebagainya. Penempah bersetuju dengan pembuat untuk membuat set bilik tidur atau kerusi. Segala bahan yang digunakan untuk perabot tersebut akan disediakan oleh pembuat mengikut spesifikasi yang dikehendaki oleh penempah.

2.7    Catatan:
1.           Pembeli tidak diperbolehkan menjual barang yang disalamkan sampai ia menerimanya karena adanya larangan menjual barang yang belum diterima.
2.           Tidak sah diberlakukan hiwalah (pemindahan hutang) pada salam, karena hiwalah itu hanya berlaku pada hutang yang memang sudah tetap, sedangkan salam masih bisa dibatalkan.
3.           Jika kesulitan membawakan barang pada saat tiba waktunya, misalnya salam pada buah, ternyata pohonnya tidak berbuah tahun ini, maka si pembeli bisa bersabar sampai ada buahnya atau dibatalkan dan meminta uangnya yang dahulu. Karena akad apabila tidak jadi, maka harus dikembalikan uangnya, jika uangnya telah habis, maka harus dicari gantinya.










BAB III
KESIMPULAN
·         Menurut Bahasa Salam atau Salaf adalah MENDAHULUKAN.Sedangkan menurut Syara’ Jual beli Salam adalah Jual beli sesuatu yang dinyatakan sifat-sifatnya saja dengan lafaz salam atau salaf.
·         Jual Beli Salam adalah  jual beli barang yang ditunda yang disifati dan masih dalam tanggungan dengan bayaran yang didahulukan
·         Dasar Hukum (Dalil) Jual Beli Salam
Jual beli salam diperbolehkan dalam syariat Islam, berdasarkan :
1.        Dalil dari Alquran adalah firman Allah Ta'ala
2.        Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Abdullah bin Abbas radhiallahu 'anhuma
3.        Ulama Islam telah ber-ijma’ (berkonsensus) tentang kebolehan sistem jual beli salam ini, seperti diungkapkan oleh Imam Ibnu Al-Mundzir dalam kitab Al-Ijma’, hlm. 93
4.        Kebolehan akad jual beli salam ini juga sesuai dengan analogi akal dan kemaslahatan manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Prof. Dr. Shalih bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah,
·         Syarat – Syarat Jual Beli Salam
            Syarat yang berkaitan pada ra'sul maal (bayaran)
1.            Diketahui jenis (bayaran)nya.
2.            Diketahui jumlahnya
3.            Diserahkan dalam majlis secara sempurna.
          Syarat pada musallam fiih (barangnya)
1.      Masih dalam tanggungan
2.      Disifati dengan sifat yang menghasilkan pengetahuan terhadap ukurannya dan  sifatnya yang membedakan dengan lainnya agar gharar itu hilang dan hilang perselisihan.
3.      Waktunya diketahui sampai kapan.

·         Rukun Jual Beli Salam
1.      Pihak Yang Mengikat Kontrak
2.      Sighah Kontrak
3.      Modal
4.      Barang Yang Di Tempah
·         Hikmah Jual Beli Salam
Adapun hikmah disyariatkan jual beli salam adalah untuk melapangkan dan memberi kemudahan kepada manusia,di samping itu di bawah ini adalah hikmah jual beli salam:
Ø  Mementingkan keperluan manusia.
Ø  Memberi berbagai manfaat kepada manusia.
Ø  Memudahkan satu pihak memperolehi modal dan satu pihak lagi memperolehi barangan yang dikehendaki.
Ø  Membuka jalan supaya dapat dimanfaatkan yang menjadi landasan kehidupan manusia.
·      Contoh Jual Beli Salam
Contoh: Seorang penempah meminta pembuat kasut membuatkan sepasang atau   beberapa pasang kasut untuknya. Manakala kulit dan segala bahan yang diperlukan disediakan oleh pembuat, bukannya penempah.
    Contoh lain ialah perkakas rumah seperti perabot dan sebagainya. Penempah bersetuju dengan pembuat untuk membuat set bilik tidur atau kerusi. Segala bahan yang digunakan untuk perabot tersebut akan disediakan oleh pembuat mengikut spesifikasi yang dikehendaki oleh penempah






“Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa sallam.”




REFERENSI

o   Al-Albani.Kitab Irwa’Alghalil hal.340
o   Imam Ibnu Mundzir.Kitab Al-Ijma’  hal.93
o   http://www.Ensiklope/Islam/muamalah/htm.
o   http://www.muamalah_2/zahir.
o   Syekh Ibnu Utsmaini.Syarhu Al-mumti hal.49
o   Syekh Prof.Dr.Shalih bin Abdillah Al Fauzan.Fiqh al-mu’amalat hal. 150
o   Syekh Prof.Dr.Shalih bin Abdillah Al Fauzan.Al-mulakhas Al-fiqh hal. 60